Kamis, 05 Januari 2012

Antara Anak, Sandal, Pisang, dan Tali Gantung

 

Tiga anak dipidana dalam tiga kasus berbeda. Keadilan makin jauh?



Kamis, 5 Januari 2012, 21:04 WIB

Elin Yunita Kristanti, Syahrul Ansyari



Pisang (Antara/ Musyawir)


BERITA TERKAIT



VIVAnews – Vonis hakim Pengadilan Negeri Palu, Sulawesi Tengah yang menyatakan AAL (15) bersalah mencuri sandal milik Briptu Ahmad Rusdi,  yang dijatuhkan pada Rabu 4 Januari 2012 malam, membuat Sekretaris  Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), M Ikhsan geleng kepala.

Menurut dia, meski AAL tak jadi dibui dan dikembalikan ke pembinaan keluarga, putusan tersebut tetap tak bisa diterima.  Sebab, ada sejumlah keanehan dalam perkara ini. "Pertama, dalam proses persidangan dan pemeriksaan barang bukti dan saksi-saksi, juga hasil investigasi, tidak terbukti AAL bersalah. Ia tak mencuri, tapi memungut sandal di pinggir jalan," kata Ikhsan kepada VIVAnews.com, Kamis 5 Januari 2012.

Sandal yang ia pungut bukan milik Briptu Ahmad. Yang diambil sandal Eiger, yang diaku dan jadi barang bukti, sandal merek Ando. "Harusnya AAL divonis bebas," tambah dia.

Ikhsan menambahkan, putusan bersalah juga akan mempengaruhi masa depan AAL. "Seumur hidup ia akan menanggung beban psikologis sebagai pencuri sandal. Ini berbahaya bagi perkembangan anak," kata dia.

KPAI pun melaporkan hakim yang memvonis AL ke Komisi Yudisial. Juga ke Kejaksaan, Mahkamah Agung, dan Kementerian Hukum dan HAM untuk mengadukan masalah ini. Sementara, pengacara AAL, Elvis Kanuvu langsung menyatakan banding.

Sedikit berbeda, Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD menyatakan, vonis kasus pencurian sandal terhadap terdakwa AAL sudah tepat. Menurut Mahfud, tindakan ini merupakan contoh penegakan hukum tanpa pandang bulu.

"Secara hukum formal saya kira pihak kejaksaan dan pengadilan itu benar. Kan memang ada satu tindakan," kata Mahfud MD di Istana Negara, Jakarta, Kamis, 5 Januari 2012. "Kalau penegakan hukum tidak dijalankan nanti diprotes lagi, ada pelanggaran hukum tapi tidak diproses.”

Meski begitu, Mahfud mengatakan secara substansi memang  tidak setiap kesalahan yang secara formal bersalah, lalu dianggap salah secara substansi. Dia menilai langkah hukum yang diambil oleh kejaksaan dan pengadilan terhadap kasus ini tidak berlebihan dan prosesnya wajar. "Dinyatakan bersalah tapi tidak dihukum, dikembalikan ke orang tuanya. Saya nilai tidak berlebihan terhadap AAL, biar nanti pengadilan yang menentukan hukumannya. Pengadilan sudah memutuskan," ujar dia.

Menurut Mahfud, apabila langkah hukum tidak dijalankan oleh penegak hukum, maka kejadian serupa akan kembali terulang."Coba kalau ada orang melakukan kesalahan lalu berlindung dengan mengatakan ini pelakunya anak kecil, nanti juga susah. Akan banyak orang melakukan itu karena anak-anak," tuturnya.

Terhadap respon masyarakat yang berpendapat pemidanaan terhadap AAL berlebihan, Mahfud juga tak menyalahkan. "Masyarakat yang protes dengan mengumpulkan sandal saya nilai benar juga. Itu kan protes atas tindakan sewenang-wenang oknum polisi. Jadi sudah benar juga," ungkapnya.

Bagaimana dengan Briptu Ahmad Rusdi Harahap, korban pencurian yang melakukan penganiayaan terhadap AAL?

Jangankan sampai ke pengadilan, oknum anggota polisi ini tak diproses pidana. Ia baru dijatuhi sanksi sidang disiplin yang di gelar di Markas Komando Brimob Polda Sulteng, Kamis 5 Januari 2012.

Sanksi dibenarkan tim reaksi cepat dari Kementerian Sosial, Devi Tiomana, yang mendampingi AAL dan keluarganya saat sidang disiplin digelar. Ia menjelaskan, sidang digelar di Ruang Rupatama yang dipimpin oleh ketua majelis hakim, Komisaris Polisi Indra Budiawan.

Dalam sidang yang berlangsung sekitar 1 jam tersebut, Briptu Ahmad Rusdi dinyatakan terbukti bersalah karena melakukan penganiayaan terhadap AAL. Ia dinyatakan melanggar etik karena tidak mampu mengayomi masyarakat sebagaimana tanggungjawab tugasnya. "Makanya, majelis hakim menjatuhkan sanksi sebanyak empat item, yakni teguran tertulis, penundaan kenaikan pangkat, mutasi, serta kurungan di ruangan khusus selama 21 hari," kata Devy saat dihubungi dari Makassar.

Kasus pisang Cilacap

Belum tuntas kasus AAL, seorang remaja di Cilacap, Jawa Tengah dikabarkan harus mendekam di tahanan gara-gara dituduh mencuri pisang. Menurut keluarganya, Kt mengalami keterbelakangan mental. Ia hanya lulus SD kelas tiga, sering mengamuk, dan tingkah lakunya aneh. Bahkan kaca di bagian muka rumahnya yang sederhana itu pecah gara-gara ulahnya. Soal usia, kakak Kt, Tgh mengatakan, adiknya lahir pada 19 Januari 1993. Umurnya menurut dia baru 17 tahun.

Kasus ini berawal pada 11 November 2011. Kt diajak rekannya, T ke kebun pisang milik Mungalim di Kecamatan Kesugihan. Di sana mereka mengambil sejumlah tandan pisang. Warga yang memergokinya lantas menghalau mereka.

Aksi itu pun dilaporkan ke polisi, yang langsung datang dan menangkap mereka. Sehari kemudian 12 November 2011, mereka ditahan. Pemilik pisang, Mungalim telah membuat surat pernyataan di atas materai, bahwa ia memaafkan Kt terkait kondisi kejiwaannya. Namun, proses hukum terus dilanjutkan.

Saat ditemui, ibu Kt, Ksm (54) menceritakan, ia dan keluarganya kaget saat menerima surat penangkapan dari polisi. "Anak saya hanya ikut-ikutan, dia anak bodoh dan mengalami kelainan mental. Di rumah saja sikapnya aneh, sering ngamuk, marah-marah," kata dia, sambil menangis.

Dia menceritakan, karena keterbelakangan mental, putranya itu hanya sekolah sampai kelas 3 Sekolah Dasar. "Setelah itu nggak naik-naik," kata dia.  Ksm berpendapat, anaknya tak mungkin melakukan pencurian secara sadar. "Tolonglah, anak saya nggak tahu apa-apa, hanya ikut-ikutan," kata dia, berurai air mata.

Namun, polisi tak sependapat dengan klaim pihak tersangka. Kepala Bagian Divisi Humas Polri, Boy Rafli Amar mengatakan, Kt berusia 21 tahun, sementara rekannya, 25 tahun. Polri juga membantah ada tersangka yang menderita keterbelakangan mental. Kedua tersangka itu dinyatakan normal. "Kedua tersangka kondisi normal dan tidak mengalami cacat mental sebagaimana telah diberitakan juga oleh media," ujar Boy. “Hanya saja salah satu tersangka memiliki bibir sumbing sehingga tidak jelas dalam berbicara."

Selain itu, penahanan dilakukan karena para korban yang pisangnya dicuri oleh kedua tersangka tidak pernah mengajukan surat pencabutan laporan mereka. "Tetapi korban mengajukan surat permohonan keringanan hukuman dari Kepala Dusun dan pihak keluarga tersangka."

Mereka juga tidak terbukti dari keluarga miskin. "Pelaku ke sana menggunakan sepeda motor, kalau miskin kan jalan atau naik becak. Ekonominya bagus karena menggunakan sepeda motor. Ini yang perlu diluruskan," kata Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Saud Usman Nasution

Kasus pencurian itu terjadi pada 11 November 2011 yang lalu. Menurut Polri, kedua tersangka ini mencuri 15 tandan pisang milik Wardoyo Mungalin dan Simun warga Kecamatan Kesugihan.

Polisi berhasil menyita barang bukti berupa: pisang 15 tandan, satu buah golok, dua unit sepeda motor, dan dua unit keranjang.

Dihubungi VIVAnews.com, pengacara tersangka, Wiwin Taswin mengatakan, pihaknya akan mengusahakan pemeriksaan ahli jiwa pada tersangka Kt. "Nanti kami akan upayakan pemeriksaan ahli jiwa, untuk mengetahui apakah ada gangguan jiwa," kata dia.

Soal umur, pengacara melihat ada keganjilan di sisi polisi. "Dalam surat penahanan dan penangkapan, tertulis tanggal lahir dua tersangka sama, 21 Desember 1990, ini yang janggal," kata dia.

Wiwin mengaku sudah mengunjungi rutan untuk berkomunikasi dengan pihak tersangka. Untuk mengetahui kronologi peristiwa.

Polisi membantah tersangka dari keluarga miskin, menurut Anda? "Dari yang saya lihat, rumahnya sederhana, tak begitu bagus."

Gantung diri di Sijunjung

Ini masih misterius: benarkah dua tahanan di bawah umur tewas gantung diri? Jika benar, apa yang membuat kakak beradik itu nekat menghabisi nyawanya.

Rabu sore, 28 Desember 2011. G yang berumur 17 tahun dan adiknya Fs  yang berumur 14 tahun ditemukan dalam kondisi tewas tergantung di kamar mandi ruang tahanan.  Mereka diduga bunuh diri.

Tapi pihak keluarga merasa ada kejanggalan dalam kematian dua kakak beradik ini. Kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang yang mewakili keluarga menduga, keduanya tewas akibat sebab lain. "Dari fakta yang kami terima dari pihak keluarga dua hari lalu, kuat dugaan ada sebab lain," kata Koordinator Divisi Pembaruan Hukum LBH Padang, Roni Saputra pada VIVAnews.com, Kamis 5 Desember 2012.

Menurut laporan yang diterima LBH dari keluarga korban, jenazah mereka diterima pihak keluarga pada 28 Desember 2011 pukul 21.00 WIB. Pihak keluarga dan kuasa hukum mereka menduga, kakak beradik tersebut tewas sekitar satu jam sebelum mereka menerima jenazah.

"Kesimpulan ini muncul karena darah segar masih mengalir saat jenazah diterima pihak keluarga, tapi kami belum bisa menyimpulkan ini akibat penganiayaan, hanya saja faktanya begitu," tambah Ron.

LBH akan mengambil langkah-langkah hukum terkait. Roni mengaku bahwa LBH telah menyurati Komnas HAM Sumbar, mendesak agar lembaga tersebut segera menangani kasus ini. Pihaknya juga akan melakukan investigasi terkait tewasnya korban. "Kami juga telah menyurati Rumah Sakit  M Djamil terkait hasil otopsi terhadap jenazah korban," katanya.

Hingga kini, menurutnya, pihak keluaga belum menerima hasil otopsi dari jenazah korban. Pihak kuasa hukum juga kecewa karena polisi telah mengumumkan tewasnya korban akibat bunuh diri.

G dan Fs ditahan di Polres Sijunjung terkait kasus pidana. G dikaitkan dengan kasus pencurian motor sedangkan F diduga melakukan tindak pidana pencurian kotak amal.

Dimintai konfirmasi, Kabid Humas Polda Sumatera Barat AKBP D Sugiarto mengatakan, hasil otopsi rumah sakit menyatakan, korban gantung diri. "Ini hasil otopsi rumah sakit yang menentukan penyebab kematian korban, bukan kami yang menyatakan itu (gantung diri)," kata AKBP D. Sugiarto pada VIVAnews.com, Kamis, 5 Januari 2012.

Menurut Sugiarto, kepolisian terbuka untuk berbagai kemungkinan dalam menindaklanjuti kasus tersebut. Pihaknya tidak akan menghalang-halangi serangkaian upaya hukum yang dilakukan pihak keluarga untuk mencari kebenaran.

"Zaman sekarang sudah tidak ada yang bisa ditutup-tutupi, itu hak keluarga (untuk mencari kebenaran)," tambahnya.

Ia juga membantah pemberitaan yang menyebut pemeriksaan kasus ini dihentikan. "Sampai sekarang masih ditindaklanjuti, kalau ada pelanggaran atau pidana yang dilakukan anggota, akan diteruskan," ujara Sugiarto. (eh)

Laporan: Robby| Cilacap, Eri Naldi| Padang

• VIVAnews

1 komentar:

  1. Germaine De Stael: "The human mind always makes progress, but it is a progress in spirals."

    BalasHapus